Senin, 04 April 2005
Bencana Tanah Longsor di Jawa Barat ibarat "Hotel Bintang Lima"
APABILA menyangkut bencana tanah longsor, Jawa Barat bisa dikatakan provinsi yang paling sering dilanda bencana tersebut. Berdasarkan data Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, pada tahun 2004 di Jawa Barat terjadi bencana tanah longsor hingga 24 kali. Sebanyak 22 orang tewas dan 21 luka-luka dengan kerugian 176 rumah rusak, 53 rumah hancur, dan lima bangunan lain rusak.
Selain itu, sekitar 160 hektar lahan pertanian dan 90 meter ruas jalan rusak. Bencana tanah longsor paling banyak menelan korban terjadi di Desa Kidangpananjung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung. Longsor pada 21 April 2004 itu menyebabkan 15 orang tewas.
Kepala Subdirektorat Mitigasi Bencana Geologi, Surono, mengibaratkan tanah longsor sebagai "bintang lima" dalam peringkat hotel. Bintang empat ditempati gempa bumi dan peringkat selanjutnya adalah banjir, letusan gunung berapi, dan bencana lain.
Pergerakan tanah di Jabar sudah tergolong rentan, ditambah lagi oleh curah hujan yang tinggi dibandingkan dengan provinsi lain. Selain itu, sekarang ini banyak fungsi lahan yang berubah dari kawasan hutan menjadi ladang dan sawah.
Perubahan lahan di Jabar yang sudah rawan longsor, semakin berbahaya karena proses penyuburan sawah dan ladang berarti menggemburkan tanah. Penggemburan membuat tanah semakin labil karena lebih mudah pecah.
BANYAK masyarakat yang berdiam di daerah rawan longsor karena lahan di tempat itu dianggap memiliki nilai ekonomis. Tanah yang gembur tentu disukai petani untuk menyuburkan tanamannya. Contoh permukiman seperti ini terdapat di Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Daerah seperti itu, selain subur juga memiliki aliran air yang tersedia untuk melakukan penanaman sepanjang tahun.
Upaya pemulihan lahan kritis, menurut Surono, tidak bisa sepenuhnya mengeliminasi bahaya longsor. Penanaman pohon hanya berfungsi untuk memperlambat terjadinya peristiwa itu. Pohon-pohon dengan akarnya berfungsi sebagai pengikat tanah sehingga mengurangi kemungkinan longsor.
Di sisi lain, keterpaksaan tinggal di daerah rawan gempa tidak terlepas dari aspek kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Bila mereka memiliki tingkat kesejahteraan yang cukup, tentu memilih tempat yang lebih aman. Faktor lain yang berpengaruh adalah tingkat pendidikan. Penduduk di daerah rawan gempa biasanya berpendidikan rendah.
Kendati demikian, bukan berarti daerah rawan bencana alam tidak dapat ditempati. Surono mencontohkan daerah rawan bencana di negara maju yaitu negara bagian California di Amerika Serikat. Penduduk di daerah tersebut merasa aman karena pemerintah setempat mengupayakan langkah pencegahan bencana ditambah lagi dengan sistem asuransi yang sudah maju.
"Jadi intinya, bagaimana kita bisa mengatur daerah sekitar kita supaya aman," papar Surono.
Upaya penghijauan juga tidak bisa dilakukan sembarangan karena membutuhkan pepohonan yang sesuai dengan lahan yang ditanam. Pohon yang besar tidak cocok ditanam di lereng yang curam. Berat pohon justru menambah beban lahan, dan tiupan angin menyebabkan pohon menjadi semacam dongkrak yang membongkar lahan. Jenis tanaman yang cocok untuk daerah itu adalah pohon yang tidak terlalu tinggi, namun memiliki jangkauan akar yang luas sebagai pengikat tanah.
"Mengatasi bencana tanah longsor merupakan tugas dari multidisiplin ilmu, misalnya ahli kehutanan untuk menentukan jenis tanaman dan ahli tanah untuk menentukan jenis lahan," tambah Surono.
TANAH longsor di lahan kritis lebih cepat terjadi karena tidak ada penahan. Penanganan longsor di Jawa Barat bagian utara dan selatan, berbeda karena jenis tanahnya tidak sama. Sedangkan tanah di Jabar selatan lebih labil sehingga lebih rawan longsor.
Menurut Surono, walaupun tanah longsor paling sering terjadi di Jawa Barat, perhatian masyarakat terhadap bencana itu belum besar. Ini karena skala yang terjadi selama ini masih kecil dan sedikit menelan korban.
Masyarakat baru tersadar ketika bencana besar terjadi, seperti longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah dengan korban tewas sekitar 120 orang (21/2/2005). Kejadian besar lain, yaitu longsor di Kampung Bonjot, Desa Ranca Panggung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, yang menyebabkan 164 keluarga mengungsi (21/4/2004).
Kondisi itu, menurut Surono, menunjukkan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan tidak diberlakukan. "Jadi, pembangunan belum memerhatikan aspek bencana alam. Anggaran untuk korban bencana alam berkali-kali dikeluarkan cukup besar tanpa kesadaran bahwa dana itu sebenarnya bisa digunakan untuk mencegah bencana secara dini," papar Surono.
Oleh karena itu, dia menambahkan, undang- undang kebencanaan harus segera ditetapkan. Sementara, kesadaran masyarakat untuk melaporkan longsor juga tergantung kepada tingkat keparahan suatu bencana. Bila bencana tidak menimbulkan kerugian yang besar, masyarakat sepertinya enggan melapor.
Selain itu, minat terhadap ilmu tanah yang rendah menjadi faktor kurangnya perhatian terhadap bencana longsor. Tidak banyak lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) yang ingin mempelajari ilmu tanah atau sejenisnya di perguruan tinggi.
"Itu karena anggapan bahwa menjadi ahli tanah tidak terkenal. Dari segi tantangan juga kurang. Banyak yang bingung, kalau jadi ahli tanah mau kerja di mana," tutur Surono pula. Para lulusan SLTA agaknya dirisaukan oleh tingkat kesejahteraan ekonomi bila menekuni ilmu "kering" ini.(DWI BAYU RADIUS)
Rabu, 13 Februari 2008
Langganan:
Postingan (Atom)